Jakarta, Keterbatasan membuat orang menjadi kreatif.
Begitulah prinsip beberapa ilmuwan dari Toronto General Hospital. Dengan
menambahkan sebuah lensa, mereka mengubah telepon seluler menjadi
mikroskop sederhana untuk memeriksa tanda-tanda cacingan di Afrika.
Masalah
klasik yang dialami negara berkembang di bidang kesehatan adalah selain
kekurangan dokter, sulitnya akses ke fasilitas kesehatan di daerah
pelosok masih menjadi kendala. Minimnya fasilitas untuk melakukan
analisis darah dan kimia juga menambah pelik karena tidak ada mikroskop.
Di
sisi lain, konsumsi gadget di Afrika nampaknya semakin meningkat.
Diperkirakan, penetrasi penjualan ponsel di sana adalah sekitar 20
persen. Bahkan sistem uang yang dijalankan melalui ponsel lebih maju
daripada di Amerika saat ini. Nah, ilmuwan lantas mencoba menggunakan
gadget ini untuk mengatasi permasalahan medis tersebut.
Dengan
memasang lensa seharga US$ 8 atau sekitar RP 77 ribu pada kamera ponsel,
ilmuwan bisa mengubah sebuah ponsel murah menjadi mikroskop beresolusi
tinggi yang kompleks. Efektifitas metode ini untuk mendiagnosa cacingan
pada anak-anak Afrika sudah dilaporkan dalam American Journal of
Tropical Medicine and Hygiene.
Cacingan diperkirakan dialami oleh
sekitar 2 miliar orang di dunia atau sekitar 28 persen populasi dunia.
Para peneliti mengambil foto sampel tinja menggunakan slide kaca yang
dibungkus plastik. Foto-foto tersebut lalu dianalisis untuk melihat
keberadaan telur cacing yang mengindikasikan adanya infeksi cacing di
dalam usus.
Ketika hasil analisis dari mikroskop ponsel
dibandingkan dengan pemeriksaan menggunakan mikroskop laboratorium,
ternyata tingkat keakuratannya cukup tinggi. Mikroskop ponsel memiliki
tingkat keakuratan sebesar 70 persen dalam mendiagnosis infeksi umum dan
90 persen akurat dalam mendiagnosis infeksi serius.
"Alasan
infeksi buruk memiliki akurasi diagnosis lebih tinggi karena telur yang
ada dalam sampel jauh lebih banyak. Infeksi parasit ini menyebabkan
malnutrisi, hambatan pertumbuhan dan gangguan perkembangan mental," kata
peneliti, Dr Isaac Bogoch seperti dilansir Medical Daily, Jumat (15/3/2013).
(dikutip dari health.detik.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar