VIVAnews – Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok), mengumpulkan 94 Direktur rumah sakit negeri dan
swasta provider Kartu Jakarta Sehat (KJS) untuk membahas program KJS
yang masih memiliki banyak kekurangan. Salah satu kendala dalam
penerapan program KJS adalah membludaknya pasien di rumah sakit-rumah
sakit di Jakarta, sehingga tidak semua pasien dapat tertampung.
Kegiatan itu diikuti oleh 500 peserta, perwakilan dari 94 RS swasta
dan negeri di seluruh DKI Jakarta. Mereka dikumpulkan agar tidak
terjadi lagi penolakan terhadap warga miskin yang berobat.
"Kami harapkan agar tidak ada yang menolak pasien miskin berobat ke
rumah sakit," kata Basuki T Purnama, dalam pertemuan dengan puluhan
direktur dan jajaran rumah sakit rujukan KJS di Ballroom Hotel Lumire
Jalan Senen Raya No 135, Jakarta Pusat, Jumat 22 Maret 2013.
Ia mengimbau para rumah sakit itu beran aktif dalam mensukseskan
program pengobatan gratis bagi warga yang kurang mampu tersebut. "Saya
minta kepada semua pihak supaya memberikan pelayanan yang baik kepada
pemegang KJS mengakses pengobatan di rumah sakit," ucapnya.
Dalam pertemuan itu, Ahok meminta pihak rumah sakit agar proaktif,
profesional, dan proporsional menjalankan program KJS. “Kami harap semua
rumah sakit di DKI yang menjadi provider KJS ini ikut menyukseskan
program KJS,” kata Ahok.
Ia meminta RS tidak mempersulit warga pemegang KJS dalam mengakses
pengobatan. “Saya minta kepada pihak RS untuk tidak lagi menolak pasien
miskin yang berobat, serta memberikan pelayanan yang lebih baik.”
Sejak diluncurkan November 2012 lalu, terjadi lonjakan pasien rumah
sakit yang menggunakan KJS. Tecatat di beberapa RSUD yang menjadi
rujukan KJS, lonjakan lebih dari 50 persen.
Lonjakan pasien KJS membuat rumah sakit selalu penuh, sehingga banyak warga tidak kebagian berobat. Baru-baru ini kejadian itu
menimpa Ana Mudrika
(14) yang terlunta-lunta setelah ditolak empat rumah sakit. Ana diduga
keracunan makanan dan telat ditangani secara medis. Akhirnya dia
meninggal, Sabtu 9 Maret 2013.
Pada 16 Februari lalu,
bayi Dera Nur Anggraini
meninggal setelah tidak tertampung di rumah sakit. Sejak dilahirkan,
bayi yang lahir kembar ini kondisinya terus melemah. Dera harus dirawat
di Neonatal Intensive Care Unit (NICU). Dalam perjuangannya mencari
rumah sakit rujukan, ayah Dera, Eliyas Setya Nugroho, ditolak oleh
hampir 10 rumah sakit.
Kembaran Dera, Dara Nur Anggraini, bayi prematur yang lahir 10
Februari 2013 itu menyusul saudari kembarnya pada 20 Maret 2013. Dara
meninggal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo setelah menjalani perawatan
selama empat minggu.
Tiga kasus itu mencuat dan mengundang tanya publik pada program Kartu Jakarta Sehat. Proggram ini digagas Gubernur Joko Widodo (
Jokowi) bersama wakilnya dan digaungkan kala masa kampanye pemilihan kepala daerah.
Tiga kasus ini menjadi polemik panas di Jakarta. Program pengobatan
gratis Gubernur Joko widodo menjadi sorotan banyak pihak. Tak sedikit
yang mengkritisi bahkan menilainya telah gagal.
KJS Disempurnakan
Dalam beragai kesempatan
Jokowi
mengakui bahwa program KJS perlu disempurnakan. Langkah yang telah
dilakukan, antara lain dengan mengubah ruang rawat inap Kelas II menjadi
Kelas III. Dengan demikian pasokan ruang rawat inap bagi pemegang kartu
KJS diperbanyak.
Selain itu, penanganan pasien KJS akan menggunakan sistem
pengelompokan tindakan medis dan obat berdasarkan daftar penyakit.
Sistem ini disebut Indonesia Case Based Groups (INA CBGs). Ahok
menjelaskan sistem ini dalam acara pertemuan dengan para pimpinan 94
rumah sakit itu. ”Jadi sistem itu gini, di Indonesia Case Based Groups,
jadi per kasus gitu lho,” katanya.
Misalnya, ada pasien demam berdarah. Biaya tindakan medis dan obat
serta lama perkiraan lama perawatannya sudah dibuat satu paket. Paket
itu input ke dalam sistem komputer khusus sehingga terstandardisasi di
seluruh rumah sakit provider KJS.
“Nanti kan kita taruh di komputer, kalau orang mengisi obat di luar
itu, komputernya akan menolak. Kalau kamu masukin yang di dalam, kamu
akan diterima. Diterima, diterima Jamkesda, langsung bayar ke Bank DKI.
Ini mempermudah, lalu masalah biaya gimana, kecil atau besar, ini
relatif,” katanya.
Sistem ini dipadu dengan koneksi online antar rumah sakit guna
mengetahui ketersediaan ruang perawatan. Pasien bisa menghubungi call
center 119 untuk mengetahui ketersediaan ruang perawatan itu. “Pokoknya
dengan 119, websitenya, bisa tahu kamar berapa orang akan mulai cari
kirim. Jadi tidak akan lagi terjadi orang sakit nyari-nyari RS. Soalnya
rumah sakit sudah berjaringan.”
Sistem ini akan memudahkan pasien atau keluarganya mencari
informasi ketersediaan ruang perawatan. Apakah mengakses melalui website
atau call center. “Bisa juga langsung website. Sehingga kamu nggak
perlu telpon 119 kamu bisa lihat sendiri. Kita tinggal lihat sendiri
rumah sakit mana yang kosong. Tinggal cek, nomor telpon berapa, kita
telpon.”
Ahok menargetkan bulan April sistem perangkat lunak itu sudah bisa
digunakan untuk program KJS. Pelatihan hari ini merupakan bagian
persiapan penerapan itu.
Dia menambahkan, sistem ini bisa mendukung program nasional. Bila sukses
di Jakarta tidak menutup kemungkinan daerah lain bisa menirunya. “Jadi
kita harapkan program-program ini bisa mendukung program nasional."
Kepala Unit Pelaksana Jamkesda Provinsi DKI Jakarta, Yuditha,
mengatakan sistem ini bisa menjadi percontohan untuk mendukung program
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) 2014. "Kami juga persiapkan
DKI Jakarta sebagai daerah percontohan untuk BPJS 2014 mendatang," kata
Yuditha.
Penyiapan Kelembagaan
Peneliti Jamkesda dari Pusat Telaah dan Informasi Regional
(Pattiro), Rohidin Sudarno, menyambut positif pelatihan internal tenaga
medis itu. Menurutnya, pemahaman internal perlu dikuatkan terlebih
dahulu agar petugas terutama yang berada di garda depan tidak gagap.
“Terutama frontliner yang berhubungan langsung dengan
pasien sehingga masyarakat bisa menerima efek langsung dari manfaat itu.
Secara paralel harus dipercepat,” katanya.
Menurutnya, program ini perlu diiringi kesiapan kelembagaan. Semua
instansi terkait harus disiapkan memasuki iklim berbeda dengan
sebelumnya. Selain itu, infrastruktur dan anggaran tidak boleh
diabaikan.
“Ini kan seperti memberikan harapan besar untuk masyarakat kemudian
berduyun-duyun menggunakan. Perlu perhitungan rasio jumlah penduduk dan
yang sakit serta ketersediaan ruang Kelas III di Jakarta. Sekarang kan
semua orang berpikirnya sakit sedikit ke rumah sakit, padahal jumlah
kamar ideal Kelas III itu belum ideal,” katanya.
Rohidin menilai gaya komunikasi
Jokowi
maupun Ahok yang terdengar seperti ancaman bagi pihak rumah sakit yang
menolak pasien merupakan penekanan komitmen mereka mensukseskan program
itu. Menurutnya, kunci sukses program ini memang tidak bisa hanya
diserahkan pada pemerintah daerah, namun dukungan banyak pihak terkait
termasuk rumah sakit dan masyarakat.